Cerpen: PINDAH

 

PINDAH

By Reni Nuryati

“Aku benci hidup di kampung”

Seketika kata itu keluar dari seorang anak remaja yang baru berulang tahun ke-17. Rasanya baru kemarin berulang tahun ke-16, tau tau udah berubah aja angka kedua lilin yang harus ayah dan ibuku beli. Satu permohonanku pada ayah dan ibu di ulang tahun kali ini adalah pindah rumah. Aku ingin pindah dari kampung yang sudah mempertemukan ayah dan ibu. Bukan karena aku tidak suka bentuk rumahnya, bukan karena aku tidak suka dengan teman-teman di sini, bukan karena aku jauh dari pusat perkotaan sehingga tidak bisa nongkrong-nongrong cantik bersama teman-teman lain. Bukan. Ini karena tetangga.

Ya, aku muak dengan semua hal yang dikatakan oleh tetangga pada keluargaku. Aku sangat ingat ketika ayah membeli sebuah motor keluaran terbaru dari honda, Honda SH50i yang diantar oleh dealer motor ke dalam sebuah gang cukup besar, gang harapan indah, gang rumahku. Saat itu banyak sekali sepasang mata yang melihat kami dengan tatapan yang sinis. Namun, ada juga yang pura-pura memberi selamat padahal aku tau orang itu tidak betul-betul mengucapkannya. Aku memang suka membaca karakter dari orang-orang disekitarku, sebagian besar sesuai dengan apa yang aku baca, tapi ada juga yang aku salah baca yang akhirnya bikin salah paham. Kalau udah salah paham aku selalu mengurung diri dan merasa bersalah karena pikiran aku yang selama ini melenceng dari kenyataan. Oke balik lagi ke perihal motor. Memang, motor itu bukanlah motor pertama kami, kami membeli motor itu karena motor yang dipakai oleh ayah untuk ke kantor sudah tidak layak untuk dipakai, sudah beberapa kali ayah terjatuh dan beberapa kali masuk bengkel.

“Bu ini motor dan surat-suratnya.” Kata mas-mas yang dari tadi mengarahkan temannya untuk menurunkan motor dari mobilnya.

“Makasih mas, kalau diantar ke depan pagar rumah saya boleh mas? Kebetulan suami saya lagi ngga ada di rumah” begitu kata ibu.

Motor langsung dibawa oleh mas yang sudah susah payah menurunkan motor dari mobil angkutannya ke dalam gang kecil menuju depan rumahku. Aku dan ibu berada di depan untuk memberi petunjuk jalan. Aku enggan melihat tatapan orang-orang di sekitarku. Aku lebih baik menunduk sambil sesekali tersenyum tipis kepada mereka. Aku tahu senyumku akan terlihat fake bagi orang-orang, tapi aku tidak peduli jika seseorang bisa mengetahuinya karena memang aku orang yang ekspresif sehingga tidak bisa menyembunyikan keadaan yang sebenarnya, semua ekspresi bisa dilihat dari mata. Langkah kaki berhenti tepat pada rumah bercat hijau dan pagar biru. Rumahku sengaja dicat hijau atas permintaan kakakku, katanya biar sekalian bisa dijadiin green screen, maklum, dia sedang menitih karier sebagai seorang youtuber kampung. Ya, aku memanggilnya dengan sebutan youtuber kampung. Terdengar jahat atau tidak, aku tidak peduli. Tapi ngga bisa dipungkiri kalau konten-kontennya bagus dan mendidik, di tengah-tengah konten youtube yang isinya prank semua dan trending yang isinya drama, dia tetap semangat membuat konten selama 10 bulan terakhir ini, meskipun jumlah subscribernya baru mencapai 5k. Tapi udah bisa dimonitize. Mantap.

***

“Di sini aja pak, makasih banyak yaa..” kata ibu sambil tersenyum lebar dan memberi tips untuk si mas. Si mas tersenyum dan langsung meninggalkan kami. Selang beberapa detik kemudian ada seorang tetangga yang menghampiri kami dan dengan santai bilang

“Hasil ngepet berapa kali bu?”

Sontak hal itu membuatku geram dan akhirnya membuat tanganku yang mungil namun kasar ini menepak bahu yang lebih rendah dariku yang kemudian dilerai oleh ibu. Orang itu tersenyum karena telah berhasil membuatku kesal disambut dengan tetanggaku yang berusaha membawa orang itu pergi. Kali itu bukan kali pertama aku mengeluarkan emosi pada orang itu, namun sudah ke tiga kali dengan kasus yang berbeda. Ibu memutuskan membawaku ke dalam rumah sebelum emosiku semakin memuncak dan tatapan tetangga yang semakin banyak. Untungnya sebelum itu ibu melihat kakak laki-laki kami dari kejauhan yang sedang menuju rumah dan memintanya untuk memasukkan motor.

Aku berhasil ditenangkan oleh ibu dengan segelas air putih yang langsung habis kuminum hanya dalam satu teguk. Ibu ngga bilang apa-apa, dia sudah terbiasa dengan hal itu dan dengan sikapku yang mudah tersulut emosi.

**

“HUFF” Aku meniup lilin sembari mengaminkan permohonan yang sebelumnya diucapkan dalam hati. Jangan tanya apa do’anya. Kamu udah tau. Ya, pindah rumah. Sudah dua tahun terakhir ini aku merengek meminta itu, tapi ngga pernah di-iya-kan. Katanya, tunggu saja sampai kamu lulus SMA, nanti kalau kuliah ke luar kota, kamu juga bakal jarang di sini. Bukan itu yang kumaksud. Aku tidak ingin keluargaku di sini. Di tempat dengan lingkungan tetangga yang kerjaannya menyinyir sesuka hati. Lagipula, rumah ini beserta lahannya sudah ada orang yang menawar dengan harga yang cukup masuk akal, namun ayah dan ibu menolaknya. Aku sekesal-kesalnya saat itu, ibarat sudah bisa menngaet layangan lawan, namun lepas kembali karena angin badai datang memisahkan dan bahkan merusak kedua layangan tersebut.

Tradisi dalam keluarga kami, biasanya jika ada yang berulang tahun, maka malam sebelum hari itu tiba, kami mempersiapkan kue ulang tahun yang biasa dibeli di warung pinggir jalan, lalu kami berbincang-bincang tentang apa saja yang sudah dilakukan selama satu tahun kebelakang dan apa resolusi yang ingin dicapai pada tahun berikutnya. Kadangkala juga ada kado sebagai hadiah dari keluarga buat yang ulang tahun. Aku tak berhenti berharap kado yang aku terima adalah sebuah perkataan dari orang tua tentang rencana pindah rumah.

“Harapan aku masih sama, aku ingin memulai hidup baru di daerah yang lebih nyaman daripada di sini.” Kata yang langsung terucap dari mulutku setelah meniup lilin yang sudah leleh dengan mata yang berkaca-kaca dan menatap dalam kedua orang tuaku dan kakak.

“Apapun do’a yang baik, akan selalu ibu aamiin-kan.” Begitu ujarnya.

“Selamat ya, dek, cepet-cepet lulus SMA biar tau sulitnya nyari uang.” Kakakku menyeringai, dia tau aku tidak suka ditakut-takuti dengan kerasnya dunia. Di hari yang special ini pun dia masih aja berhasil bikin aku kesel.

“0” aku jawab singkat.

“Pokoknya adek harus jadi orang yang berguna buat nusa, bangsa, dan agama. Jadi anak yang sholehah dan sikap yang dewasa.”

“Aamiin” tungkasku.

Aku sebetulnya menunggu kado yang akan diberikan oleh mereka pada malam itu, namun nampaknya aku tidak melihat tanda-tanda itu. Tidak ada bungkusan kertas kado atau benda yang tertutup lainnya. Aku terlalu malu untuk bertanya, karena pada tahun sebelumnya aku meminta untuk tidak dibelikan kado karena tahun lalu aku tahu kondisi keuangan keluarga yang menurun.

Jam akhirnya menunjukkan pukul 10 malam. Tidak terasa kami telah makan dan berbincang-bincang selama dua jam. Kakak sudah masuk ke kamarnya duluan, katanya mau nulis skrip buat video yang bakal dia upload ke youtube. Aku masih di ruang tamu, bersama ayah dan ibu dengan sepotong kue yang masih tersisa. Cahaya dari TV terlihat jelas memantul ke wajah ayah dan ibu yang sangat asyik menonton serial TV.

Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan gigi dari coklat dari kue bolu dan mencuci muka kemudian bersiap untuk bertempur dengan bantal dan guling.

**

Aku terbangun disambut dengan suara bacaan doa bangun tidur yang dilantangkan oleh muadzin di masjid yang kurang lebih terhalang 3 rumah dari rumahku. Ketika membuka mata dengan posisi duduk mengarah ke tembok yang terpasang kaca, kini aku bukan melihat wajahku di sana. Aku melihat ada tulisan yang sengaja ditempelkan dalam kaca itu. Aku mengambil kacamata agar bisa membaca tulisan yang ada pada kaca.

‘SINI, BUKA AKU, INI KEJUTAN UNTUKMU’

Aku yang setengah sadar ini tiba-tiba melotot dan segera mengambil kertas itu.

“Bertahanlah satu tahun lagi. Selesaikan sekolah, lalu kita pindah ke luar kota. Ibu dan ayah bukan mengabulkan permintaan kamu. Tapi yang mengabulkan adalah Allah SWT. Rumah ini akan kena gusur oleh pemerintah karena akan dibangun rel kereta api cepat. Kami mendapat uang gusuran dan diberi waktu satu tahun untuk membereskan semuanya. Sembari kamu menyelesaikan sekolah, ibu dan ayah akan survei ke beberapa tempat untuk dijadikan tempat tinggal yang nyaman buat kita semua. Bersabarlah sedikit lagi.”

Air mataku jatuh tak tertahan. Kini ku berpikir, apakah tempat yang baru akan memberi kebahagiaan yang lebih?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malunya “Pingsan di Gedung Tempat Ngampus"

Kali Ini Aku Bicara “Tentang Cinta"

“Bertambah Umur, Bertambah Keimanan?”